pelajar paruh waktu

30 Mar 2011

Bila kemampuan selalu diukur oleh takaran angka

15.19 Posted by anzilnyaw , No comments
Hari ini saya mengalami hal yang lucu ^^

Teman ibu saya maen di rumah saya. Ya biasa deh, jadi acara bincang-bincang ala ibu-ibu. Saya yang kurang kerjaan pun ikut nimbrung. Saya denger deh ceritanya. Sekali-kali saya nyaut sama apa yang lagi diomongin.

Nah, waktu itu pas mbahas masalah sekolah anaknya. Dengan semangat menggebu-gebu ala ibu-ibu, dia cerita. Gini nih kira-kira :

"Kok ya bisa lo, anak saya dapet nilai jelek banget. Masak nilainya ya cuma 2, 3, malah ada yang cuma satu. Apa nggak bodoh itu namanya. Padahal pelajaran yang diujikan udah berulangkali diajarkan. Tapi kok ya masih nggak bisa-bisa. Sampek les siang malem masih nggak bisa. Aduh aduh.. Terus gimana gitu itu."

Lucu ya..
Mana ada sih, anak sendiri dibilang BODOH. Terus lagi mana ada lagi coba anak yang setiap hari dipaksa les siang malem apa lagi pagi harus sekolah juga, jadi anak pinter. Gag dikasih istirahat apa ya? Makanya setiap anak pasti akan seneng banget kalau sekolah ngasih mereka libur. Why? Anak udah terlalu sering disuruh belajar. Bukannya jelek sih belajar terus, tapi kalau kebanyakan? Misal aja kita makan. Makan banyak memang bagus buat kesehatan, tapi kalau udah kebanyakan? 

Pendidikan Indonesia sekarang ini memang terlalu mengandalkan sebuah NILAI. Murid-murid pada umumnya dibiarkan berkompetisi agar mereka berhasil memperoleh NILAI yang tinggi, sehingga nama sekolahnya juga menjadi tinggi.

Coba pikir kalau setiap hari murid-murid selalu dibebani dengan sekolah pagi dan les siang malam, belum lagi tugas yang diberikan gurunya yang bejibun itu, tidaklah heran jika murid sering mengeluh Dan tidak heran bila murid lebih memilih jalan-jalan pintas untuk memperoleh NILAI. Ya, MENCONTEK ! Bila murid terus disibukkan seperti itu tanpa diberi waktu luang untuk beristirahat atau bahkan lebih parahnya tidak diperbolehkan mengeluh.

Murid bersekolah bertujuan agar mereka pintar (orang pada umumnya berpendapat seperti ini, padahal ilmunya yang diberikan kebanyakan tidak bisa diaplikasikan, hanya sebatas informasi yang wajib disampaikan), dan guru bertugas sebagai pendidiknya. Tapi bila murid masih belum bisa apakah murid pantas disalahkan? Kenapa mereka tidak menyalahkan guru sebagai pendidik atau bahkan kepala sekolah sebagai kepala dari semua pendidik di sekolah itu? Kebanyakan orangtua akan memarahi anaknya apabila mendapat nilai yang jelek. Dan dengan begitu murid justru akan merasa terpojok dan terbebani. 

Nah, kenapa para orangtuan tidak bisa berkata dengan baik-baik. Kenapa selalu menggunakan emosi? Tidakkah kalian tahu bahwa semakin dimarahi, anak akan semakin terpuruk dan susah untuk bangkit? Tidakkah kalian sering dengar bahwa kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda? Jadi bila anak anda selalu berhasil dan tidak pernah gagal apakah mereka kelak akan sukses?

0 komentar:

Posting Komentar

Yoroshiku onegaishimasu !